Thursday 27 October 2011

Rindu - Agnes Monica : apakah cinta mengalahkan logika?

-->
Selama aku mencari
selama aku menanti
Baying bayangmu dibatas senja
Matahari membakar rinduku
Ku melayang terbang tinggi

Bersama mega mega menembus dinding waktu
Kuterbaring dan pejamkan mata
Dalam hati kupanggil namamu
Semoga saja kau dengar dan merasakan

Getaran dihatiku
yang lemah Haus akan belaianmu
Seperti saat dulu
Saat saat pertama kau dekap dan kau kecup bibir ini
Dan kau bisikkan kata kata
Ku cinta kepadamu

Peluhku berjatuhan
menikmati sentuhan Perasaan yang teramat dalam
Tlah kau bawa segala yg kupunya
Segala yang kupunya

Agnes Monica - Rindu

***

Rania menyiapkan segala kebutuhan Aldi untuk keesokan hari. Apartemen kecil ini menjadi rumah kedua sebelum kakinya menjejak rumah setelah pulang kerja. Apartemen ini milik Aldi, kekasihnya sejak duduk disemester 2, 4 tahun lalu. Setelah lulus dan diterima diperusahaan asing, Aldi akhirnya mampu membeli apartemen ini.
Melihat jarum di jam tangannya sudah menunjukkan pukul 9 malam, Rania akhirnya mengirim BBM ke Aldi untuk pamit pulang. “makan malamnya udah ada diatas meja ya sayang, yg utk bsk udah aku taruh di microwave. Bsk tinggal panasin aja J. Kamu jangan pulang kemaleman, vitaminnya diminum dulu sblm tidur. Love you Aldi.”
Rania boleh setiap hari datang dan menyiapkan semuanya untuk Aldi, tapi melihat Aldi pun hanya bisa dilakukan seminggu sekali. Itupun sambil menemani Aldi meeting online di apartemen itu. Apa yang membuat Rania kuat? Cinta. Aldi adalah separuh hidupnya, cinta yang mengakar saat dewasa adalah kata sakral diusia 18 tahun. Sampai sebuah tamparan hebat membuat logika dan perasaannya tak lagi berfikir positif.
“Lo ga cape apa Ran, bolak balik ke apartemen Aldi tapi ga ketemu orangnya? Lo tuh sama aja kaya PRT pulang pergi buat Aldi. Keenakan dianya. Belom jadi istri aja udah jarang ketemu, gimana kalo udah?” Sanny, sahabatnya sejak SMA kembali menjadi alarm untuk Rania. “Gue cinta Aldi, San.” Ujar Rania sambil menengguk mocca latte-nya. Wajah kalem Rania memang sekilas terlihat tak terpengaruh oleh perkataan Sanny, tapi hatinya berdesir hebat.
“cinta tuh alesan 4 tahun lalu Ran! Jangan karena lo pernah making love terus lo jadi rela-pasrah begini dong.. tegas sedikit Ran. Kalo lo belom bisa tegas ke Aldi, coba tegas dulu sama hati lo.” Sanny kembali menyesap rokok mildnya.
“minggu depan gue mau ke Sanur, Bali. Ikut gue yuk. Sekalian lo liat perubahan gimana Aldi tanpa lo selama 3 hari. kalo dia sampe rela ninggalin kerjaannya demi lo, berarti dia cinta. Kalo ternyata dia bisa tanpa lo –atau bahkan nemuin orang buat gantiin lo- mending lo mikir dua kali untuk menyandang gelar pacar Aldi.” Sanny menutup pertemuan singkat mereka dengan mengecup kedua pipi Rania, tentunya sebelum air mata Rania jatuh perlahan.

***

“aku udah sampe Sanur ya sayang, semoga meeting-nya lancar…” ujar Rania sambil menikmati aroma dan debur laut didepan matanya. Suara Aldi di ujung telepon sana terdengar risau. “lusa aku jemput ya Ran, kan waktu kita ketemu harusnya lusa…” suara Aldi mulai merayu. Rania tersenyum. “Ga usah Al, aku kan nanti pulang sama Sanny. Lagian kita kan bisa ketemu hari Minggu.” Aldi menyerah sekarang. Dia ga bisa ngelanjutin rayuannya karena meeting udah mau mulai. “oke, nanti malam aku telfon ya. Keep BBM-ing me, okay? I love you Ran.” Klik. Telepon terputus.

Day 1, Jumat. Sanur, Bali.
Rania benar-benar me-refresh pikirannya. Dari kerjaan, juga dari Aldi. Aldi sejak pagi memulai BBM, bukan lagi Rania. Semalam Rania ikut teman sekantor Sanny barbeque-an sambil genjrang genjreng gitar di pantai sampai jam 3 pagi. Jam 6 pagi, ping BBM dari Aldi sudah tak terhitung. Rania tersenyum. Aku baru bangun Al, met kerja yaa.. remember this, TGIF! Bsk bisa tidur seharian J. Beberapa detik kemudian Aldi membalas. Iya Ran, ada meeting sampe zuhur nanti. Aku bisa bls bbm kamu nanti jam makan siang mungkin ya. Have fun there. Setelah itu, tak ada BBM hingga malam kembali menyelimuti Sanur.
Badan Rania mungkin kembali fresh. Tapi tidak oleh hatinya. Hati Rania kembali bergoyang. Apa benar kata Sanny? Apa yang ada di hati Aldi setelah sekian lama, dan setelah intensitas bersama begitu renggang? Sama besarkah cintaku dengan cinta yang Aldi punya? Rania menatap laut. Berusaha melihat seluas matanya memandang, berharap hatinya juga bisa seluas dan sebiru laut dihadapannya.
Sanny membawa segelas orange juice untuk Rania. “lo boleh sampe tidur-tiduran di pantai kok Ran. Tapi please, jangan sampe nangis yaa..” Sanny duduk disamping sahabat kesayangannya. “gue takut San, gue takut statement kedua lo yang bener. Dia bisa tanpa gue. Setelah itu, habislah. Gue bener-bener udah ga dibutuhin Aldi.” Suara Rania bergetar, namun ia berusaha tetap tegar dari gemuruh hatinya. Sanny memeluknya dari samping.
“laut ini luas Ran, lo bisa lihat semuanya dari banyak sudut pandang. Ada deru ombak di sebelah sana, tapi di hamparan lain airnya begitu tenang. Itu hidup Ran, itu juga cinta. ada di dalam cubicle hanya akan membuat lo berpikir di satu ruang yang didominasi oleh pikiran lo sendiri. Beruntung lo bisa berpikir positif, tapi itu bisa jadi boomerang untuk diri lo sendiri.
“inget umur Ran, 22 adalah waktu yang tepat untuk memutuskan semuanya. Masih belum terlambat untuk lo mengakhiri semuanya dan memulai lagi yang baru. Tapi saat lo udah tetap sama Aldi, lo bisa menikmati jenjang hubungan lo di level yang lebih tinggi. Menikah itu titik akhir dari pacaran kan Ran?
“lo mungkin bisa belajar dewasa dari Aldi, dan sekarang saatnya lo mengajarkan bersikap dewasa dan sebelah pihak dari lo. Begitulah cinta Ran, lo bisa belajar dan mengajari pasangan.” Sanny menatap lurus ke laut.
“gue mau sendiri dulu San. gue mau cerita sama laut, sama senja.” Titik air mata itupun jatuh dipipi Rania. Sanny meninggalkan Rania bersama mega merah di ufuk timur sana. Sepeninggal Sanny, Rania membaringkan tubuhnya diatas pasir, kini matanya mengarah ke langit yang mulai gelap, namun berbias merah sisa matahari yang hendak tenggelam. Rania menutup matanya, mendengarkan deru ombak. Berharap playlist di ipodnya seindah lagu alam ini.
Pikirannya membawa scene pada malam itu, 4 tahun lalu. Di pantai Carita, dihadapan debur ombak pantai. Saat cinta itu begitu meletup, tak hanya di hati RAnia, tapi juga Aldi. Saat ikrar cinta itu mereka genggam, saat bibir mereka saling bertemu tanpa nafsu. Lembut dan panjang, seakan ciuman itu mengisyaratkan ketulusan cinta yang begitu dalam.
Lalu rekaman memori itu pindah ke perayaan anniversary mereka yang pertama. Saat dulu dengan motor bebek milik Aldi membawa mereka ke taman kota, yang ternyata telah berubah menjadi meja candle light dinner dengan meja taman dan lampu-lampu yang Aldi tempel sendiri sebagai pengganti lilin. Akustik yang dibawakan oleh pengamen jalanan serasa orchestra yang melantun ditelinga Rania. Entah berapa lama Aldi menyiapkan momen special ini, padahal Rania hanya memesan sepasang kaos couple untuk kado anniversary pertama mereka. Makan malam yang hanya diisi oleh makan sate padang dan es campur pun terasa nikmat dengan rangkaian mawar putih yang dijadikan gelang dan disematkan di pergelangan tangan kanan Rania. “Rania, I love you. Setahun terakhir ini, sampai akhir nafas hidupku.” Aldi mengecup punggung tangan Rania. Rania serasa terbang ke langit yang dipenuhi bintang malam itu.
Mata Rania mulai membanjir saat pikirannya terbang ke memori satu setengah tahun yang lalu, tepat saat wisuda mereka. kebaya dan sarung wiron yang dibelinya bersama Aldi seminggu sebelum wisuda kini melekat pas ditubuhnya. Walau tertutup toga, rasanya pakaiannya saat itu adalah partikel ke sekian yang dipikirkan Rania. Lulus kuliah, bekerja, dan terus melanjutkan perjalanan bersama Aldi, itulah yang kini ia impikan dan mulai perlahan dijawab Tuhan. Sesi foto bersama bertambah satu, foto bersama dengan Aldi. Dengan toga yang kebesaran, keduanya berpelukan mesra di depan background bergambar buku-buku dan tirai merah itu. Setelah blitz DSLR itu hilang, Aldi tetap mendekap Rania dalam pelukannya, “udah lulus kita, Ran. Abis ini kita wujudin mimpi kita yang satu lagi yuk! Aku mau hidup sama kamu sampai akhir nafasku.” Aldi membiarkan Rania mendekapnya lebih erat, sambil merasakan anggukan dan airmata yang membasahi toganya. Aldi tau, Rania tersenyum didalam dekapannya.
Sesaat Rania membuka mata, langit kini telah gelap. Air mata telah bercampur dengan keringat saat adrenalinnya terpompa kala Rania mengingat semua memori indahnya. Para turis sudah mulai pergi dari pantai. Rania bangkit dan kembali pada posisi duduknya yang semula. Saat matanya terbuka, baru ia sadar bahwa drama indah itu sudah lama tak ada dihidupnya. Satu helaan nafas panjang seakan mengisyaratkan airmatanya untuk tidak jatuh semakin banyak lagi. yang Rania butuhkan adalah siraman air dingin dari shower bath room kamar hotelnya.

***

Day 2, Sabtu.  Sanur, Bali.
Hari ini Rania benar-benar ingin ingat pada dirinya sendiri. Ia ingin sejenak lepas dari risau hatinya akan Aldi. Pasar Sukowati adalah tujuannya hari ini. tadi pagi Rania hanya mengirim BBM berisikan selamat pagi dan selamat istirahat, lalu ia me-non aktif-kan BBM-nya.  Hari sabtu adalah hari tidur untuk Aldi. Biasanya pagi-pagi Rania sudah meluncur ke apartemen Aldi untuk menyiapkan sarapan dan membangunkan Aldi, sekaligus mengingatkan Aldi yang harus meeting online.
Seharian ini Rania dan Sanny melakukan ritual ladies day yang telah lama tak mereka jalani. Pergi berdua, window shopping atau benear-benar shopping, makan, jalan-jalan, nyalon & spa, tanpa gangguan telfon, sms, atau bbm sekalipun. Sanny memerankan tugasnya dengan sangat baik. Itulah sahabat, ia tau bagaimana menjadi mood booster untuk sahabatnya sendiri.
Jam sudah menunjukkan pukul 14.30 dan mereka sampai lupa pada perut yang belum terisi lagi sejak sarapan tadi. Mereka memasuki kedai makanan khas Bali. 2 porsi ayam betutu dan urap telah terhidang di meja mereka tak lama kemudian. Obrolan ringan seputar kantor masing-masing, keluarga, juga masa sekolah dulu menyelimuti kehangatan keduanya. Tawa Rania menambah kebahagiaan Sanny. Biarlah ia menjadi sandaran Rania, kalau Aldi tidak bisa. Itu kan gunanya sahabat?
Setelah makan yang kesiangan itu, mereka memutuskan kembali ke hotel. 17.30. Sanny dan Rania sampai di hotel tempat mereka menginap. Mereka memanggil petugas valet parking karena kepayahan membawa segala belanjaan mereka hari itu. Oleh-oleh, koleksi pribadi, hingga snack untuk semalam lagi telah menyatu entah bagaimana didalam 3 kantong plastic besar milik Rania pribadi, tak beda jauh dengan Sanny.
Badan Rania lebih ringan dari biasanya. Pikirannya lebih rileks, ia menyimpulkan semuanya dalam satu kata. Rindu. Rania rindu akan kebahagiaan dirinya dengan Aldi. Rindu akan kebersamaannya dengan Aldi. Hanya saja jika rindu yang dimilikinya tak sama dengan yang Aldi rasakan, ia kembali ke kesimpulan semula. Habislah, Aldi benar-benar tak membutuhkannya lagi.

***
Day 3, Minggu. Sanur, Bali.
Pagi ini seharusnya Rania packing untuk flight-nya nanti sore, tapi ia masih meringkuk di atas kasur memandangi smartphone-nya yang tak kunjung berdering dari kemarin. Ini hari terakhirmu Ran, apa cinta itu benar-benar masih dibutuhkan?
Dengan malas, Rania mengemas barang-barang sekaligus oleh-oleh di koper besarnya. Mengecek BBM dan SMS dari Aldi yang tak kunjung sampai. Sejak kemarin hanya SMS dari mama yang menanyakan kabarnya dan staf kantor yang mengabarkan keadaan kantor.
Pukul 07.00 Rania turun ke ruang makan untuk sarapan. Saat ia memasuki lobby, Rania kaget setengah mati. Lututnya lemas seketika saat ia memandang sesosok lelaki tegap itu di sofa lobby hotel. Polo shirt dan jeans yang terakhir Rania setrika di apartemen Aldi kini telah melekat di tubuh sang empunya. Mata itu begitu sayu, lalu tenggelam di helaian rambut indah Rania.
“2 x 24 jam Ran, kamu sukses bikin aku kelimpungan. 2 x 24 jam, kamu berhasil bikin aku sadar aku udah terlalu lamu gak acuh sama kamu. Aku jahat Ran, aku gak pantes dimaafin harusnya!” pelukan Aldi begitu erat dirasakan Rania.
“pulang ya Ran, aku butuh kamu. Bukan untuk mengurus apartemenku, tapi mengurus apartemen kita. “ mata Rania membulat mendengar sebaris kalimat itu.
“pulang ya Ran, aku butuh kamu untuk mengkonsep pernikahan kita. aku butuh kamu untuk benar-benar melanjutkan perjalanan kita. aku butuh kamu karena aku cinta kamu Rania, 4 tahun ini, hingga akhir nafasku Ran…” Aldi memandang indah mata Rania, gadis berbulu mata lentik yang memikat hatinya sejak pertama bertemu di kampus dulu. Gadis kota yang mengajarkan hidup si perantauan.
“pulang ya Ran, ayah dan ibu menungguku untuk melamarkanku padamu.” Ujar Aldi dengan setetes air mata yang terjatuh. Rania mengusapnya. “imam keluarga itu gak boleh nangis, sepilu apapun hatinya. Menangismu hanya untuk Tuhan. Iya, aku akan pulang untuk melanjutkan perjalanan kita…”

Sanny tersenyum dengan setangkup roti dan kopinya.

No comments:

Post a Comment