Tuesday 10 January 2012

kebelet pipis


This word is actually make me like a nerd.
Saya mau cerita, tentang kebelet pipis. minggu kemarin, saya berkunjung kerumah seorang guru selepas maghrib. Layaknya teman, kami cerita ngalor ngidul. Tentang apapun. Kala itu, sirup manis yang tersedia pun menjadi santapan kami sambil menunggu ayam penyet yang sudah dipesan.
Setelah makan, dan mengobrol sejenak, saya pamit pulang. Dan tidak terpikir sama sekali untuk buang air kecil dulu, setidaknya untuk jaga-jaga. Kenapa? Mama sudah menelpon saya berkali kali menyuruh pulang. Berangkat lah saya dari Ulujami menuju Pasar-Minggu.
Sampai perjalanan ke Darmawangsa, semua berjalan normal. Gerimis menemani saya yang duduk disamping jendela yang terbuka. Saya suka kena tampias air hujan, tapi saya menyesal dengan dingin yang begitu menusuk. Karena dingin selalu membuat saya kebelet pipis. this is. The big problem saya malam itu.
Selepas Darmawangsa, saya kebelet pipis yang amat sangat. Saya berusaha tenang, dan mencoba menahan kebelet pipis itu. Tiba-tiba perjalanan sepanjang Jl. Antasari arah Kemang terasa lamban, padahal malam itu jalanan terlihat ramai lancar. Saya mencoba untuk tidak memperhatikan jalanan. Counting ways menuju rumah akan terasa lebih lama sepertinya. Maka saya tetap sms-an dengan pacar, keep tweeting, supaya saat saya melihat jalanan ternyata sudah lebih dekat.
Namun, perubahan jalan karena adanya pembuatan jalan layang non tol di Jl. Antasari membuat saya linglung dengan jalanan tersebut. Terlebih ketika saya sadar, tiba-tiba bus yang saya tumpangi masuk ke pom bensin, isi bensin. Terpikir untuk turun dan numpang buang air kecil disana, tapi saya berusaha mengingatkan otak saya, “lo ga lagi tour may, belom tentu supirnya mau nungguin lo kelar pipis”. maka saya tetap diam di tempat dan tetap berusaha menahan kebelet pipis itu. Helloooowww, isi bensin bus itu lama yaa.. secara ngisi penuhnya aja sampe lebih dr 50 liter. Nunggu 50 liter itu bener bener bikin saya uring-uringan. Betapa tidak, kebelet pipis itu bukan nunggu pacar di terminal manggarai buat barengan ke kampus. Kalopun pacar ga bisa jemput, saya bisa naik bus lain. Tapi kalo saya ga bisa nahan kebelet pipis, bisa amat sangat berabe urusannya.
Tak lama, bus kembali melanjutkan perjalanan. Menyusuri Jl. Benda di daerah Kemang hingga Ampera, saya hanya berusaha tetap tenang, mencoba mengingat adakah wc umum atau mushola atau tempat apapun yang ada toiletnya di sekitar Pasar Minggu. Terpikir untuk turun di kantor polisi dekat pasar hanya untuk numpang pipis.
Sampai di depan perempatan Jl. Buncit Raya (di depan Pejaten Village), pipis ini sudah hampir tak tertahankan. Traffic light menunjukkan lampu merah, saya panik total. Ibaratnya, pipisnya sudah ada di ujung banget! Saya mulai membuat kegaduhan di dalam bus. Saya menggoyangkan badan, mengetuk wedges ke lantai bus, hingga orang-orang di sekeliling saya mulai menengok heran. Saya tidak peduli. Pikiran paling ganas adalah keluar dari bus cari semak semak lalu pipis. gila! Lalu saya kembali membentak otak untuk berfikir benar, “trus besok ada headline di Republika tulisannya: perempuan berkerudung tak bisa menahan buang air kecil lalu pipis di semak semak. Pathetic banget idup lo may!” begitu ujar hati saya.
Dari 85 detik hingga lampu berganti menjadi hijau, saya bersyukur saya masih diberi kewarasan dari Allah supaya saya tidak melakukan tindakan paling ekstrem tersebut. Namun kaki saya pun tidak berhenti mengetukkan wedges. Ini jalan terakhir yang saya tempuh untuk menahan kebelet pipis.
Saya lupa kalau malam sudah beranjak ke pukul 10 malam. Dimana mushola dan tempat-tempat yang saya rasa ada toilet, kini telah terkunci. Kecuali mini market 24 jam, tapi ga lucu juga ya masuk dan hanya numpang pipis. lagipula, satu hal yang paling saya takuti saat itu, “gimana kalo pas gue diri trus ga ketahan dan –byuuurr, pipis dicelana?”. Saya memejamkan mata, bergidik ngeri kalo sampai hal itu terjadi. Walaupun begini, saya masih mau dianggap orang waras, bukan mendadak gila karena kebelet pipis.
Bus mulai merapat ke pasar. Tidak ada waktu mencari WC umum di tengah pasar, apalagi malam sudah mulai larut. Walaupun keadaan pasar masih tetap ramai, tetap saja saya takut. Saya menghela napas, berusaha setenang mungkin untuk bisa berdiri dan turun dari bus tanpa kehilangan kendali menahan pipis. lalu turun lah saya dari bus, dengan tanpa kebobolan tanggul.
Panic kembali melanda. What should I do then? Mencari WC umum sudah tak terbayangkan, naik ke mikrolet mengarah kerumah pasti masih harus ngetem. Belum lagi perjalanan dari jalan raya masuk kerumah lumayan menyita waktu. Apa kabar kebelet pipis yang tak tertahankan ini??
Lalu saya melintasi bapak paruh baya, tukang ojek, yang menawari saya untuk naik ojeknya. Saya hanya ingin cepat sampai rumah dan pipis. lalu saya menghampiri bapak itu dan, “ke Jl. Damai deket komplek BIN ya pak, ngebut kalo bisa, saya kebelet pipis”, begitu saya berujar kepada si bapak ini. dengan sumringah iya memutar balik motornya dan melaju kearah rumah saya.
Diperjalanan, dengan angin yang dingin menusuk, ditemani ocehan si bapak tukang ojek yang tidak terlalu terdengar, juga tak tahu apa yang dibicarakan si bapak tukang ojek, saya masih dititik akhir pertahanan saya menahan kebelet pipis selama hampir 1 jam. Sepertinya bapak tukang ojek juga tidak terlalu menghiraukan saya yang diam saja hanya ber-he eh, iya, betul- saja.
5 menit, lalu terlihatlah rumah saya. Mengeluarkan beberapa ribu rupiah dari dompet, lalu memberikan uang itu pada si bapak. Sambil mengucap terimakasih, saya membuka gerbang dengan tergesa, membuka pintu rumah lalu berlari menuju kamar mandi.
Rasa yang paling membuat saya bahagia setelah melihat mama dan papa tersenyum adalah, bisa pipis tanpa harus kebelet.


Sekian J

No comments:

Post a Comment