Saturday, 3 January 2015

Hujan.

Hai hujan.
Turunmu ditiap bulan Desember mungkin beberapa kali kumaki. Genang air bercampur tanah yg kupijak lalu masuk ke sepatuku membuat gusar telapak kaki, aku ribut sendiri. Percik air ke tas beludruku juga tak ayal membuatku kesal setengah hati. Angin dingin yang menusuk membuat napasku menjadi satu - satu diujung minggu. Nafas asma yang membuatku harus terbaring, stagnansi otak, dan membuat semua cerita di kepala kembali terulang. Yang ternyata ceritanya lebih sesak dr nafasku. Oh, hujan.

Hujan,
Kau temani orang-orang yang sedang mengatur tawa di tahun baru. Gemuruh pelanmu menemani beberapa cangkir kopi yang di sesap khayalan indah untuk ujung tahun. Kau tetap ada disana, menjadi saksi mimpi-mimpi.
Hujan,
Kau datang di pagi hari, menusuk kulit yang tanpa helai. Memaksa hati untuk merindu kulit lain untuk menghangatkan. Memaksa jiwa untuk merindu kasih yang hilang ditelan masa.
Hujan,
Tersenyum kah kau saat memandang apa yg terjadi saat kau turun? Dibelahan bumi sini, mungkin ada yang sedang bercumbu mesra. Atau mungkin ada yg sedang menangis, meraung, memohon, hingga akhirnya lelah dan memanjat doa. Kau disana, tetap turun dengan tenang, tetap datang tak tergoyah.
Padahal kau hanya air, ya? Titik air yg datang beramai-ramai. Namun hadirmu membawa banyak perasaan. Ah, hujan.
Mari kita bertemu lain waktu. Denganku yang sedang menyesap teh manis hangat buatan Ibu. Supaya aku tetap bs menyimpan perasaan syahdu tentangmu.

No comments:

Post a Comment