Mocca - What If
***
Ruangan ini ramai, tapi Naya tidak mengenal siapapun kecuali sahabatnya yang notabene mengajaknya ke tempat ini. Banyak orang memainkan alat music diruangan ini. Memainkan partitur yang sama. Bukan, ini bukan ruang orchestra ataupun ruang latihan untuk sebuah pagelaran. Naya diajak Melisa untuk mengisi vocal untuk sebuah medley lagu anak disebuah studio music. Naya yang memang bersahabat dengan alunan melodi, mengiyakan ajakan Mel.
Seorang lelaki
memainkan gitarnya disudut ruangan. Mencoba membuat improvisasi dari guide
partitur yang sudah ada. Kaos hitam, jeans, dan moccasin yang dikenakannya
harusnya luput dari perhatian 15 orang yang ada diruangan itu. Tapi tidak oleh
Naya. Saat Naya mencari tempat untuk duduk supaya dia leluasa mempelajari lagu,
Naya melangkahkan kakinya ke sofa yang sama dengan lelaki itu. Duduk, menatap
lelaki itu, seakan meminta izin untuk menginterupsi sedikit lahan disampingnya.
Lelaki itu menyibak rambutnya yg agak gondrong, menatap Naya, dan tersenyum. Senyum
yang mengawali perkenalan Naya dengan… Martin.
***
Perjalanan malam
ini adalah perpisahan mereka sebelum Martin berangkat ke Belanda, kembali ke
studi magister-nya disana. Seminggu setelah perkenalan mereka di studio music itu,
mengalir cerita tentang masing-masing, menyimpan kagum akan masing-masing,
menyelipkan rasa nyaman dihati masing-masing.
“Kalo gak
karena Mas Sukma yang maksa aku ngisi lead guitar di projectnya, aku gak bisa
kenal kamu nih.” Ujar Martin sambil menyeruput cappuccino lattenya. “udah
ditulis disana, makanya kita bisa sampe makan disini.” Naya menunjuk langit
penuh bintang, walaupun maksud yang dituju Naya bukan bintang bertaburan itu. Martin
tersenyum, membelai punggung tangan Naya sembari tersenyum.
“Terimakasih
udah nemenin aku selama liburan disini ya. Kamu dan ceritamu terlalu menarik
untuk sekedar didengar dan disimak.” Martin menatap mata bulat Naya. “kamu sudah
ada didalam ceritaku, Martin.”
“temani aku
satu kali lagi, mau?” Martin mengajak Naya bangkit dari tempat duduk mereka. “kemana?”
Tanya Naya. “ke mimpiku. Stay there till
the sun is shine, will you?” Naya mempererat genggamannya.
***
Satu bulan
berlalu setelah Martin kembali ke Belanda. Naya kembali ke dunianya tanpa
percikan yang berhasil Martin buat. Pagi berganti pagi, bulan datang dan pergi
hingga kembali bulat utuh lagi. Setiap hari terang datang menggantikan gelap malam,
saat dimana mimpi harus berhenti, kembali kepada kenyataan. Kenyataan bahwa Martin
dan dirinya terpisah entah berapa mil jauhnya.
Beberapa pesan
akhir-akhir ini tak terjawab. Jangan Tanya mengapa. Hidup berputar, detik tetap
berdetak sementara apa yang manusia namakan masalah, selalu bertambah. Kemarin mungkin
Naya adalah prioritas Martin, begitupun Martin pada Naya. Tapi detik ini, dan
detik selanjutnya, semua bisa berubah. Naya menitikkan air matanya untuk hal
ini. Martin, are you just walk away now?
Do you cry for this, just like me?
***
“I missed you.”
“I missed you even more, Naya.”
“why don’t you tell me? Why don’t you make
me proved that you miss me too?”
“lalu kalau
kamu tau aku merindukanmu, apa kita akan tetap bersama?”
Naya
menangis. Ya, dia tau mereka tidak akan pernah kemana-mana. Tuhan yang tidak
mentakdirkan mereka untuk bersama. Naya menangisi ini dalam sujudnya, dalam balutan
kerudung putih panjang, diatas sajadahnya. I
give you my heart, Martin. But why we have
to be apart?
***
Nada mereka
kian meninggi, seiring ego yang juga kian mengeras. Diantara rindu yang tak
terkatakan, cinta yang terlalu keras, dan kompromi yang tak kunjung datang. “aku
kira kamu bisa paham sama keadaan aku, Nay. Gak gampang diposisi kita kaya
gini. Tolong kamu juga ngerti perasaan aku…” Naya tidak menggubris kalimat Martin.
Naya mendengar, namun tenaganya –emosinya, sudah kelelahan. “lalu kamu mau
gimana? Bilang sama aku, Martin… kamu mau gimana?” what if I did disappoint you, are you gonna say goodbye?
***
Martin
mengirim sebuah lagu untuk Naya. Mengajak Naya berdamai dengan keadaan. Disela waktu
yang masih mereka miliki, kesempatan
yang tidak bisa selamanya bersama mereka, Naya dan Martin harus merasa
cukup untuk bisa merasakan sayang yang berbalas. Lets sing along with me, while you cant walk beside me, Naya.
***
Kini Naya dan
Martin sama-sama tengah duduk, di langit yang sama dengan warna langit yang
berbeda. Semburat ungu gelap yang berubah menjadi jingga, mengantar matahari
yang kembali datang menjemput Naya dari alam mimpi, menemani Naya yang sedang
berusaha mencerna takdir.
Di belahan
Bumi yang lain, Martin masih memandangi bintang. Gelap langit yang menjadi
latar titik kuning keemasan yang berkilau, mengundang kenangannya pada Naya malam
itu, malam dimana Martin meminta Naya untuk tetap berada dalam mimpinya.
Takdir, kau tinggalkan
kami diantara perasaan yang sendu. Kami menunggumu, menunggu asa yang kembali
akan kau bawakan untuk kami.
-
Naya dan Martin.
No comments:
Post a Comment