Saturday, 28 June 2014

Sebenarnya, ini hanyalah cerita pendek.





Mocca - What If

***

Ruangan ini ramai, tapi Naya tidak mengenal siapapun kecuali sahabatnya yang notabene mengajaknya ke tempat ini. Banyak orang memainkan alat music diruangan ini. Memainkan partitur yang sama. Bukan, ini bukan ruang orchestra ataupun ruang latihan untuk sebuah pagelaran. Naya diajak Melisa untuk mengisi vocal untuk sebuah medley lagu anak disebuah studio music. Naya yang memang bersahabat dengan alunan melodi, mengiyakan ajakan Mel.
Seorang lelaki memainkan gitarnya disudut ruangan. Mencoba membuat improvisasi dari guide partitur yang sudah ada. Kaos hitam, jeans, dan moccasin yang dikenakannya harusnya luput dari perhatian 15 orang yang ada diruangan itu. Tapi tidak oleh Naya. Saat Naya mencari tempat untuk duduk supaya dia leluasa mempelajari lagu, Naya melangkahkan kakinya ke sofa yang sama dengan lelaki itu. Duduk, menatap lelaki itu, seakan meminta izin untuk menginterupsi sedikit lahan disampingnya. Lelaki itu menyibak rambutnya yg agak gondrong, menatap Naya, dan tersenyum. Senyum yang mengawali perkenalan Naya dengan… Martin.

***

Perjalanan malam ini adalah perpisahan mereka sebelum Martin berangkat ke Belanda, kembali ke studi magister-nya disana. Seminggu setelah perkenalan mereka di studio music itu, mengalir cerita tentang masing-masing, menyimpan kagum akan masing-masing, menyelipkan rasa nyaman dihati masing-masing.
“Kalo gak karena Mas Sukma yang maksa aku ngisi lead guitar di projectnya, aku gak bisa kenal kamu nih.” Ujar Martin sambil menyeruput cappuccino lattenya. “udah ditulis disana, makanya kita bisa sampe makan disini.” Naya menunjuk langit penuh bintang, walaupun maksud yang dituju Naya bukan bintang bertaburan itu. Martin tersenyum, membelai punggung tangan Naya sembari tersenyum.
“Terimakasih udah nemenin aku selama liburan disini ya. Kamu dan ceritamu terlalu menarik untuk sekedar didengar dan disimak.” Martin menatap mata bulat Naya. “kamu sudah ada didalam ceritaku, Martin.”
“temani aku satu kali lagi, mau?” Martin mengajak Naya bangkit dari tempat duduk mereka. “kemana?” Tanya Naya. “ke mimpiku. Stay there till the sun is shine, will you?” Naya mempererat genggamannya.

***

Satu bulan berlalu setelah Martin kembali ke Belanda. Naya kembali ke dunianya tanpa percikan yang berhasil Martin buat. Pagi berganti pagi, bulan datang dan pergi hingga kembali bulat utuh lagi. Setiap hari terang datang menggantikan gelap malam, saat dimana mimpi harus berhenti, kembali kepada kenyataan. Kenyataan bahwa Martin dan dirinya terpisah entah berapa mil jauhnya.
Beberapa pesan akhir-akhir ini tak terjawab. Jangan Tanya mengapa. Hidup berputar, detik tetap berdetak sementara apa yang manusia namakan masalah, selalu bertambah. Kemarin mungkin Naya adalah prioritas Martin, begitupun Martin pada Naya. Tapi detik ini, dan detik selanjutnya, semua bisa berubah. Naya menitikkan air matanya untuk hal ini. Martin, are you just walk away now? Do you cry for this, just like me?

***

“I missed you.”
“I missed you even more, Naya.”
“why don’t you tell me? Why don’t you make me proved that you miss me too?”
“lalu kalau kamu tau aku merindukanmu, apa kita akan tetap bersama?”
Naya menangis. Ya, dia tau mereka tidak akan pernah kemana-mana. Tuhan yang tidak mentakdirkan mereka untuk bersama. Naya menangisi ini dalam sujudnya, dalam balutan kerudung putih panjang, diatas sajadahnya. I give you my heart, Martin. But why  we have to be apart?

***

Nada mereka kian meninggi, seiring ego yang juga kian mengeras. Diantara rindu yang tak terkatakan, cinta yang terlalu keras, dan kompromi yang tak kunjung datang. “aku kira kamu bisa paham sama keadaan aku, Nay. Gak gampang diposisi kita kaya gini. Tolong kamu juga ngerti perasaan aku…” Naya tidak menggubris kalimat Martin. Naya mendengar, namun tenaganya –emosinya, sudah kelelahan. “lalu kamu mau gimana? Bilang sama aku, Martin… kamu mau gimana?” what if I did disappoint you, are you gonna say goodbye?

***

Martin mengirim sebuah lagu untuk Naya. Mengajak Naya berdamai dengan keadaan. Disela waktu yang masih mereka miliki, kesempatan  yang tidak bisa selamanya bersama mereka, Naya dan Martin harus merasa cukup untuk bisa merasakan sayang yang berbalas. Lets sing along with me, while you cant walk beside me, Naya.

***

Kini Naya dan Martin sama-sama tengah duduk, di langit yang sama dengan warna langit yang berbeda. Semburat ungu gelap yang berubah menjadi jingga, mengantar matahari yang kembali datang menjemput Naya dari alam mimpi, menemani Naya yang sedang berusaha mencerna takdir.
Di belahan Bumi yang lain, Martin masih memandangi bintang. Gelap langit yang menjadi latar titik kuning keemasan yang berkilau, mengundang kenangannya pada Naya malam itu, malam dimana Martin meminta Naya untuk tetap berada dalam mimpinya.


Takdir, kau tinggalkan kami diantara perasaan yang sendu. Kami menunggumu, menunggu asa yang kembali akan kau bawakan untuk kami.

-          Naya dan Martin.

No comments:

Post a Comment